Gudeg Kaleng Siap Menembus Pasar Dunia
![]() |
Teknologi Pengawetan Makanan dengan Pengalengan |
Supaya Sajian Gudeg tak hanya bisa dinikmati dalam dua hari, pembuat gdeg mengemasnya dalam kaleng. Hasilnya, gudeg tahan hingga setahun. Alhasil, pemasaran makanan ini jadi lebih luas dan bisa menjadi oleh-oleh turis mancanegara.
J. Ani Kristanti,
Anne Marie Happy
Kini, Rani, sebut saja begitu,
bisa menikmati gudeg kapan saja dan dimana saja. Perempuan asli yogyakarta yang
sekarang tengah tugas belajar di Negeri Kanguru itu tak pernah lupa membeli
beberapa kaleng gudeg ketika pulang ke kampung halaman tercinta.
Kaleng ? Ya, dalam setahun terakhir, memang semakin banyak
pembuat gudeg jogja yang menjajakan makanan khas ini dalam kemasan kaleng.
Kemasan baru ini menjadi solusi praktis bagi para penggemar gudeg yang tinggal
jauh dari Kota Yogyakarta atau bahkan di luar negeri.
Penjualan gudeg kaleng bermula dari ide Djatu Dwi
Kumalasari, pemilik gerai Gudeg Bu Tjitro. Djatu ingin melestarikan Gudeg Bu
Tjitro yang telah dikenal masyarakat Yogyakarta
maupun pelancong yang datang ke Kota Pelajar ini.
Selain itu, anak Bu Tjitro ini juga ingin membuat produk
gudeg yang berbeda sebagai upaya diversifikasi di tengah banyaknya penjual
gudeg di Yogyakarta. “Apalagi, banyak
penggemar gudeg di luar negeri. Kami ingin menciptakan gudeg yang tahan lama,
“tutur Djatu.
Kemudian, ia menggandeng Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) untuk menciptakan sebuah kemasan yang bisa membuat gudeg
buatannya lebih tahan lama. Sejak akhir tahun 2009, Djatu bersama LIPI mulai
menggelar penelitian gudeg dalam kaleng.
Setelah melalui proses panjang, pertengahan tahun lalu,
Djatu mulai berani menjual gudeg kaleng. Penelitian berjalan cukup lama
lantaran Djatu tak ingin menggunakan pengawet. “Ternyata, membuat gudeg kaleng
dengan cita rasa seperti gudeg aslinya tidak mudah. Beberapa kali penelitian,
saya masih belum mendapatkan cita rasa yang sesuai keinginan, “ujarnya.
Kini, dalam sebulan, Djatu bisa menjual hingga 5.000
kaleng gudeg. Sajian gudeg kering yang dilengkapi dengan telur bebek, daging
ayam kampung, dan sambal krecek itu, ia banderol mulai Rp. 20.000 hingga Rp.
27.000 per kaleng. Wilayah penjualan turut menentukan harga jual produk unik
itu.
Kesuksesan gudeg kaleng Bu Tjitro tentu menginspirasi
pemilik warung gudeg lainnya. Salah satunya Elies Dyah. Wanita yang semula
hanya menjual gudeg dalam wadah kendil (gudeg kendil) ini juga tertarik untuk
menjual gudeg kaleng. “Awalnya, kami hanya ingin memproduksi gudeg yang lebih
tahan lama karena gudeg kendil dan isinya bertahan tak sampai dua hari,” ujar
Elies.
Alhasil, ketika LIPI menawari dirinya untuk bekerjasama,
Elies segera menyambutnya.Masakan gudeg buatannya pun harus menjalani proses
penelitian terlebih dahulu agar memenuhi persyaratan pengemasan dalam kaleng.
Setelah beberapa persyaratan terpenuhi, Elies mulai
memproduksi gudeg kaleng berlabel Bu Lies. Setelah beberapa lama bekerjasama
dengan LIPI, Elies kemudian memutuskan untuk membuat pabrik gudeg kaleng di
rumahnya.
Gudeg kaleng Bu Elies ini bisa bertahan hingga satu tahun.
Isi paket gudeg kaleng itu hampir sama dengan gudeg kendil, yakni : telur
bebek, tahu, gudeg nangka, sambal krecek, dan sambal goreng tempe.
Hanya, Elies tak menambahkan daging ayam di dalam gudeg
kaleng karena belum lolos penelitian LIPI. Tapi, di masa mendatang, ia
berencana memasarkan gudeg kaleng dengan tambahan daging ayam.
Meski kapasitas pabriknya belum terpakai 100 %, saat ini,
Elies sudah memproduksi 100 gudeg kaleng per hari. Ia menjual gudeg kaleng
seberat 300 gram itu Rp. 25.000 per kaleng.
Seperti halnya gudeg Bu Tjitro, gudeg kaleng Bu Lies juga
mendapatka respon positif. Maklum, meski penjual gudeg tak terhitung jumlahnya,
belum banyak yang memproduksi gudeg dalam kaleng di Kota Gudeg.
Selain pembeli dari sekitar Yogyakarta,
gudeg kaleng juga diminati oleh turis-turis asing yang membeli sebagai
oleh-oleh. “Banyak turis dari Australia,
Jepang dan Amerika Serikat (AS) yang berbelanja gudeg di Wijilan ini, “kata
Elies.
Demikian pula dengan gudeg Bu Tjitro. Para
pelancong dari luar negeri, seperti AS, Singapura, Belanda, Jerman, dan Prancis
sering membeli gudeg kaleng sebagai oleh-oleh. Bahkan, selain di kota-kota
besar Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Banjarmasin dan Balikpapan, Djatu
sudah memiliki re-seller di beberapa negara Asia. Yakni, di Malaysia,
Singapura, dan Jepang.
Butuh Modal Besar
Dengan memperpanjang masa kedaluwarsa masakan ini, para
pengolah gudeg memang ingin menjangkau daerah pemasaran yang lebih luas. Djatu
berniat untuk mengekspor gudeg ke negara-negara di Eropa. Sayang, perizinan
sulit diperoleh karena negara-negara di Eropa memiliki standar tersendiri untuk
makanan yang masuk ke negara mereka.
Selain itu, pengolah buah nangka muda ini mungkin belum
siap menggelontorkan modal cukup besar. Pasalnya, biaya untuk memproduksi gudeg
kaleng secara rutin dalam kapasitas besar cukup mahal.
Meskipun harga setiap unit kemasan kaleng lebih murah
ketimbang kendil, para pengusaha gudeg harus merogoh modal besar untuk
berbelanja kaleng. Maklum, penjual kaleng menetapkan jumlah pembelian kaleng
minimal 50.000 unit. Taruh kata harga satu kaleng sebesar Rp. 4.000, modal
untuk pembelian kaleng saja mencapai Rp. 200 juta. Selain itu, untuk menyimpan
kaleng juga dibutuhkan gudang yang steril dan bebas air hujan.
LIPI mengakui kebutuhan modal yang besar itu. “Dana untuk
membeli kaleng cukup besar, karena untuk membeli satu paket kaleng, bisa
menelan biaya Rp. 100 juta, “kata Mukhamad Angwar, Koordinator Produksi UPT
BPPTK LIPI.
Untuk menyiasati hambatan tersebut, Elies berencana
membuat aneka masakan tradisional lain yang juga bisa dikemas di dalam kaleng.
Misalnya rendang, rawon dan brongkos. Sadar tak memiliki keahlian memasak semua
jenis makanan, Elies siap bekerjasama dengan pengusaha lain.
Memberi Nilai Tambah Masakan Tradisional
Meski banyak perusahaan pengalengan di negeri ini, masih
sedikit yang mengemas masakan tradisional di dalam kaleng. Peluang inilah yang
dilihat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) saat mulai meneliti pengemasan
kaleng untuk masakan tradisional.
Sejak era 1990-an, LIPI telah mulai memproduksi makanan
tradisional yang dikemas di dalam kaleng. “Waktu itu, kami tertarik mengemas
makanan tradisional dalam kaleng karena memiliki nilai tambah,” tutur Mukhamad
Angwar, Koordinator Produksi UPT BPPTK LIPI.
Awalnya, LIPI memproduksi tempe kari dalam kaleng. Melihat respon yang
baik, mereka memproduksi makanan tradisional lain, seperti gudeg, sayur lombok
ijo, mangut lele, tahu kari, rendang, gulai, rawon, telur puyuh, hingga
koktail.
Namun, seiring berjalannya waktu, hanya beberapa produk
saja yang memiliki nilai jual yang baik. Kari tempe, gudeg, mangut lele, dan sayur lombok
ijo merupakan olahan makanan yang paling banyak dicari.
Dalam sebulan, melalui Koperasi LIPI Gading (KOLIGA) LIPI
mampu menjual 50 hingga 100 kaleng olahan makanan itu. Selain menjual langsung,
Koliga juga memasarkan masakan tradisional kalegan itu melalui website
LIPI dan Koliga. Mereka juga aktif mengikuti pameran dan melayani pemesanan
untuk suvenir dan oleh-oleh. Koliga juga mendistribusikan olahan tersebut ke
dua supermarket besar di Kota Yogyakarta.
Angwar menilai, gudeg kaleng punya potensi bisnis yang
besar. Pasalnya, penggemar masakan ini cukup banyak, baik dari dalam maupun
luar negeri. “Belanda bisa menjadi pasar yang potensial untuk ekspor gudeg
kaleng. Selain itu, pemasaran juga bisa dilakukan bersama jemaah haji sehingga
bisa dijadikan oleh-oleh, “ujarnya.
Tak berhenti dengan pengemasan kaleng, LIPI juga
mengembangkan pengemasan makanan dengan menggunakan aluminium foil atau
plastik nilon berbentuk kantong (pouch). Kedua jenis kemasan ini
memiliki kualitas yang sama dengan kemasan kaleng, namun harganya lebih murah.
LIPI mengklaim, dengan dua kemasan tersebut, pihaknya bisa berhemat ongkos
produksi hingga 20 %.
Bahan Harus Segar dan Tahan Suhu Tinggi
Sebagai pihak yang meneliti dan melakukan pengemasan dalam
kaleng, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menetapkan persyaratan khusus
agar sebuah masakan bisa dikemas ke dalam kaleng. Apalagi, proses pengalengan
makanan tradisional seperti gudeg tidak menggunakan bahan kimia sebagai
pengawet.
Pertama, bahan baku
masakan harus benar-benar segar sesuai standar internasional dan prosedur
pengalengan di UPT BPPTK LIPI. “Untuk ikan dan daging, dari yang masih hidup,
begitu dipotong langsung diolah, begitu juga untuk sayur juga harus langsung
diolah setelah dipetik, “kata Mukhamad Angwar, Koordinator Produksi UPT BPPTK
LIPI.
Kedua, bahan makanan itu harus bisa bertahan dalam suhu tinggi
hingga 121° Celcius (C). Artinya, masakan tak berubah, baik warna maupun
bentuknya, jika dipanaskan dalam suhu tinggi. “Makanan itu tak berubah menjadi
bubur, misalnya, “ujar Angwar.
LIPI menggunakan langkah-langkah sesuai prinsip fisika
dalam proses pengalengan ini. Proses ini dimulai dengan menimbang dan
memasukkan gudeg yang sudah masak kedalam kaleng kosong yang terlebih dulu
disterilkan. Selanjutnya, dilakukan penghampaan udara di permukaan gudeg
menggunakan uap panas pada suhu 90° C - 95° C. Gudeg itu kemudian ditutup
dengan menggunakan mesin penutup kaleng dan dilanjutkan dengan sterilisasi.
Gudeg yang sudah dikemas dalam kaleng tertutup itu
kemudian dimasukkan kedalam alat sterilisasi dengan suhu 121° C selama 15
menit. Setelah itu, kaleng-kaleng berisi gudeg dimasukkan kedalam air dingin
yang sudah steril. “Tujuannya supaya mikroba jenis spora yang tahan panas
pecah, sehingga semua mikroba dalam gudeg itu mati, “jelas Angwar.
Setelah selesai, kaleng dikeringkan dan dikarantina 15
hari untuk memastikan apakah masih ada mikroba yang tersisa. Sebab, bila masih
ada mikroba, gudeg akan mengalami proses fermentasi dan kaleng akan mengembung.
Bila hal itu terjadi, artinya pengalengan gudeg gagal. Namun, bila selama 15
hari kaleng tetap normal, gudeg itu layak dikonsumsi setiap hari. Dalam tujuh
jam, LIPI bisa mengemas 1.000 gudeg kaleng.
Sumber : UPT BPPTK LIPI
Unit Pelaksana Teknis Balai Pengembangan Proses Dan Teknologi Kimia - LIPI
Catatan : Penulis hanya sekedar berbagi, jikalau mungkin dapat menginspirasi jiwa-jiwa yang anda yang mandiri. Dengan menyertakan inovasi, kreasi beserta sedikit modifikasi semoga informasi berikut tadi sekiranya dapat memiliki sedikit arti. Terima kasih.
0 komentar: